Rabu, 16 Desember 2020

Para Penghegemoni Teori Kritis : Immanuel Kant, Friedrich Hegel, Karl Marx, dan Sigmund Freud



Halo readers! Apa kabarnya? Kabar baik dong pastinya. Nah, kali ini aku mau mengulas mengenai para penghegemoni teori kritis. Siapa saja tokoh yang terlibat? Bagaimana sejarahnya? Pemikiran apa yang mereka sumbangkan terhadap teori kritis? Dan apakah tujuannya? Oke. Untuk lebih jelasnya mari simak ulasan berikut ini! 

Pada dasarnya, terdapat empat tokoh penghegemoni teori kritis, tokoh tersebut meliputi Immanuel Kant, Friedrich Hegel, Karl Marx, dan Sigmund Freud. Mereka memiliki pandangan masing-masing terhadap esensi teori kritis. Untuk itu dalam ulasan kali ini, aku mau mengulas satu persatu pandangan mereka terhadap teori kritis.

1. Immanuel Kant


Dalam menelaah sebuah pengetahuan, Kant menekankan pada “condition of possibility” dari pengetahuan itu sendiri. Yakni segala sesuatu yang menyangkut makna, isi, dasar, dan kebenaran dari sebuah pengetahuan haruslah tidak bersifat dogmatis. Baginya, kebenaran dalam pengetahuan haruslah dikritisi secara mendalam. Bagi Kant, hal terpenting adalah adanya pengujian terhadap kebenaran yang mana pengujian tersebut dilakukan dengan mengambil jalan tengah antara empirisme (fakta dan data berdasarkan pengalaman) dan rasionalisme (fakta dan data berdasarkan pemikiran) hingga pada akhirnya akan diperoleh sebuah kebenaran yang shahih. Maksud daripada proses pengujian ini adalah di mana pikiran manusia mengatur fakta empiris dan pengalaman indrawi yang diproyeksikan dalam bentuk kategori ruang, waktu, hubungan sebab-akibat yang nantinya pikiran manusia tersebut akan melakukan sistemasi dan ditemukan sebuah kesimpulan. Hal ini membuktikan bahwasanya realitas pengalaman lah yang bisa diolah oleh pikiran manusia ke dalam bentuk-bentuk kategori tadi.

Terdapat tiga proses pengenalan bagi Kant dalam memperoleh sebuah kebenaran yakni : 
a.Pengenalan taraf indra yang menangkap objek yang tampak, 
b.Pengenalan taraf akal yang mengubungkan ke dalam kategori-kategori, dan 
c.Pengenalan taraf rasio yang menarik simpulan daripada kategori-kategori yang dibuat oleh akal. 
Misalnya adalah : pengetahuan tentang hewan bernama sapi. Sapi adalah hewan mamalia berkaki empat, memiliki ekor. Apakah jika readers melihat hewan mamalia berkaki empat, memiliki ekor disebut sebagai sapi? Apakah semua yang memiliki ciri fisik demikian lantas disebut sapi? Lagi-lagi semuanya bergantung pada bagaimana rasio dan akal bisa berpikir.

Tujuan dari filsafat Kant adalah filsafat Transenden yakni suatu prinsip dasar pengetahuan yang umum dan mutlak. Prinsip dasar tersebut bukan berdasar pada pengalaman, namun pada akal budi atau rasio. Yang ingin ia lihat adalah sejauh mana akal pikiran dalam mengenal kenyataan. Harapan dari kritis Kant ini adalah manusia tidak lagi menganggap bahwa realitas merupakan “ Hasil dari Pemberian Tuhan “ belaka, namun suatu bentuk konstruksi sosial. Yang mana, tujuan daripada hal itu adalah masyarakat bisa terlepas dari kungkungan dan mewujudkan masyarakat yang rasional dan egaliter.

2. Friedrich Hegel


Hegel mengkritik pandangan Kant, bahwasanya tidak ada pertentangan yang mutlak antara ide teoritis dengan praktis alam atau materi. Baginya semuanya bersumber pada subjektifitas manusia.  Keduanya saling melengkapi dan bersifat dialektika, yakni sebuah bentuk penalaran di mana segala sesuatu itu memiliki faktor penentang yang bersifat esensial.

Terdapat tiga fase dialektika menurut Hegel, meliputi :

a. Fase Tesis, suatu keadaan awal.
b. Fase Antitesis, suatu yang bertentangan dengan keadaan awal.
c. Fase Sintesis, fase ini bisa memiliki dua arti. Yang pertama, dicabut dan ditiadakan. Kedua, diulas dan diulik lebih mendalam. Suatu kebenaran dalam tesis dan antitesis disimpan di sintesis.

Adapun sifat dari dialektika adalah prosesnya berlangsung secara terus-menerus, tidak pernah terselesaikan menjadi proses yang berbentuk spiral. Seiring berjalannya waktu, realitas senantiasa berubah, tidak ada yang tetap. Salah satu bentuk implementasi dari hal ini adalah : terbentuknya sebuah negara demokrasi konstitusional (sintesis) yang mana negara tersebut merupakan hasil perpaduan dari negara diktator (tesis) dan Anarkis (antitesis). 

Seperti itulah Hegel memandang rasio manusia. Ia memandang bahwa rasio manusia terus berkembang seperti halnya proses sejarah. Baginya, kritik merupakan sebuah bentuk refleksi proses menuju kesadaran. Kesadaran-kesadaran tersebut bisa muncul akibat adanya rintangan-rintangan yang terus diingkari. 

3. Karl Marx 


Pandangan Marx mengenai Kritik merupakan sebuah penerus dari dialektika Hegel. Bagi Marx, dialektika Hegel masih cenderung menerawang karena masih kabur dan mengurai sejarah dengan abstrak, yakni masih terkungkung dalam sebatas ide atau pemikiran yang seringkali tidak sesuai dengan realitas di masyarakat. Baginya, kehidupan ekonomi ditempatkan sebagai cikal bakal yang mendasari kesadaran manusia. Marx mematerialkan dialektika sejarah menjadi sebuah materialisme historis. Konsep kritik menurut Marx diterapkan ke dalam sejarah yang konkret dalam kehidupan masyarakat yang nyata adanya. Yang menjadi dasar daripada kehidupan masyarakat tersebut adalah “ kerja-kinerja-etos kerja “. Di mana hal tersebut sangat bergantung pada alat-alat produksi, sehingga alat produksi bisa dikatakan sebagai alat penggerak masyarakat. Hal ini kemudian memicu kontradiksi pertentangan kepentingan antar kelas kapitalis dengan kelas buruh. Menimbulkan sebuah proses kekuatan produksi yang terus-menerus diperbaiki, dirasionalisasikan, dan ditingkatkan efektif dan efisiensinya. 

Seperti analogi tersebut, Marx memandang bahwasanya pengetahuan dan rasio manusia bergantung pada faktor ekonomis masyarakat. Hal inilah yang membuat kesadaran timbul akibat dari sebuah proses produksi sosial. Kehidupan sosial yang dialami masyarakatlah yang memunculkan kesadaran. Kritik menurut Marx merupakan sebuah praxis revolusioner yang melibatkan perjuangan kelas kaum proletar. Berupa usaha-usaha emansipasi terhadap segala bentuk penindasan kekuasaan di masyarakat. Teori Kritik Marx melibatkan sebuah tujuan emansipatoris, yakni kesadaran mekanisme obyektif mengenai penindasan dan bagaimana cara pemecahannya. 

Namun di lain pihak, Kritik atas Marx ini ditentang oleh kaum Neo Marxist. Di mana, cakupan dunia bukan hanya yang berhubungan dengan alat produksi (infrastruktur) saja, namun juga mencakup mengenai ide, politik, dan agama (suprastruktur) yang saling melengkapi dan berkaitan dengan realitas di masyarakat.

4. Sigmund Freud


Freud mengemukakan teori Psikoanalisis. Teori ini dibawa oleh Erich Fromn setelah 9ntahun Frankfurt School berdiri, dengan menulis buku berjudul “The Dogma of Christ (1931)”.  Subyek dari psikoanalisis Freud adalah manusia yang memiliki ketidakbebasan psikis. Teori psikoanalisis dapat digunakan untuk memahami bagaimana kaum proletar sudah tidak memiliki jiwa revolusioner lagi. 

Terdapat tiga gejala manusia mengalami ketidakbebasan :

a. Manusia pasrah atau terhegemoni oleh adanya kekuasaan orang lain, di lain sisi akibat daripada kepasrahan yang kontinu suatu ketika manusia bisa memaksakan kehendak yang diinginkannya.
b. Perusakan diri sendiri. Sebagai bentuk dari frustasi yang tak kunjung mendapatkan obatnya. Sehingga pelarian pun sering terjadi, contoh yang sering dijumpai adalah dengan jalan menjadi pecandu narkoba bahkan parahnya bisa terjadi suicide atau bunuh diri.
c. Pelarian dengan jalan imitasi. Imitasi dilakukan meniru siapa apa pun entah itu individu, maupun kelompok komunitas yang dianggapnya sebagai panutan yang sesuai dengan kondisi dirinya atau suasana hatinya.

Di sinilah peran daripada psikoanalisis Freud dalam model kritis yakni dipakai untuk melihat kondisi psikis manusia yang terhegemoni atau tidak bebasnya rasionalitas manusia dalam berpikir. Yang mana, dalam kehidupan modern manusia sering mengalami ketidakbebasan yang tanpa disadari bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental apabila tidak ditangani secara serius. Melalui psikoanalisis Freud ini lah kita diajarkan untuk tidak hanya memperjuangkan dan mempertahankan hidup saja, namun juga pentingnya mempertahankan akal pikiran dan jiwa kita agar tetap sehat agar tidak menimbulkan permasalahan fatal akibat dari ketidakbebasan akal pikiran yang terkekang.

Oke, di atas merupakan pandangan beberapa tokoh penghegemoni teori kritis. Jadi, pada intinya dapat disimpulkan bahwasanya ciri utama dari pada teori kritis merupakan adanya sebuah kebebasan akan segala bentuk penindasan. Pentingnya rasio atau akal pikiran manusia dalam menumbuhkan berbagai macam kesadaran menjadi hal yang penting dalam sudut pandang teori kritis. Sebuah upaya emansipatoris merupakan tujuan dari teori kritis. Teori kritis mengkaji kehidupan dalam masyarakat berdasarkan realitas atau kenyataan yang dituangkan tidak hanya dalam paparan deskriptif, namun juga fokus terhadap aksi yakni kritis transformatif.

Gimana readers? Sudah makin tau kan mengenai para penghegemoni teori kritis? Next, aku bakal bahas mengenai topik yang lain yakni Teori Kritis Generasi pertama. So, Stay tune! Thanks for reading!

Salam hangat,
Penulis




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penerapan dan Implikasi Teori Kritis dalam Bidang Pendidikan

Halo readers! Apa kabar? Kabar baik dong pastinya. Nah, kali ini, aku mau mengulas  mengenai penerapan dan implikasi Teori Kritis dalam bida...