Minggu, 27 Desember 2020

Penerapan dan Implikasi Teori Kritis dalam Bidang Pendidikan

Halo readers! Apa kabar? Kabar baik dong pastinya. Nah, kali ini, aku mau mengulas  mengenai penerapan dan implikasi Teori Kritis dalam bidang pendidikan. Setelah kita mempelajari Para tokoh yang bersumbangsih terhadap teori kritis, pasti readers bertanya-tanya nih, sebenarnya apa sih sumbangsih teori kritis dalam kehidupan kita sehari-hari terutama dalam bidang pendidikan? Konsep apa yang ada dalam teori kritis dalam mendukung pendidikan? Dan, urgensi apa saja yang terlibat? Seberapa pentingnyakah? Pada penasaran kan? Untuk menjawab rasa penasaran readers semua, yuk mari simak ulasan berikut ini!

Pendidikan : Pendidikan di Indonesia

Seperti yang kita tahu, bahwasanya pendidikan itu merupakan sebuah aspek yang begitu penting di saat ini. Di mana, melalui pendidikan setiap orang bisa menemukan potensi dirinya, yang mana potensi ini bisa berguna di masa mendatang. Di bidang pekerjaan, sosial, dan banyak hal. Selain itu, dengan adanya pendidikan, baik karakter maupun mental seseorang bisa terasah dengan baik. Melalui pendidikan, setiap orang juga bisa mendapatkan berbagai pengalaman dan relasi dengan banyak orang dalam wadah yang bernama sekolah, instansi, universitas, dan semacamnya. 

Jikalau kita melihat pendidikan di Indonesia, kenyataan miris sudah tak asing kita temui. Pendidikan di Indonesia ini masih berfokus pada karakter pendidikan yang ideologis, kapitalis, dan positivistik. Di mana relasi pemerintah, pengajar atau pelaku pendidikan, dan murid atau peserta didik seakan memiliki jarak, terpisah-pisah berdasarkan fungsi dan tujuan yang monoton dan statis. Hal ini bisa dilihat bahwasanya mengapa pendidikan di Indonesia tidak mengalami kemajuan seperti pendidikan di Finlandia contohnya? Yaps, karena pendidikan di Indonesia fokus keberhasilannya cenderung hanya diukur berdasarkan potensi akademik saja. Semua materi diberikan sama rata kepada siswa dan semua siswa dituntut untuk bisa menguasai semua materi yang diberikan tersebut. Senang atau tidak senang, itu sudah menjadi hak dan kewajiban yang harus diterima oleh siswa. Padahal, kita juga tahu bahwasanya potensi setiap orang itu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Terkadang ada yang unggul di satu bidang, namun lemah di bidang yang lain. Harusnya pendidikan itu fokusnya untuk menggali potensi yang unggul tersebut. Namun, berbeda dengan pendidikan di Indonesia. Hal yang demikian dianggap gagal, dan tidak memiliki kompetensi. Sehingga, keunggulan tadi seringkali lama-kelamaan mati. Karena terus terforsir untuk menguasai materi yang lainnya yang tidak disukai. 

Kejadian seperti inilah yang dikritisi oleh Jurgen Habermas melalui sudut pandang teori kritis. Menurut Habermas, Demokrasi-Deliberatif merupakan solusi yang tepat untuk diterapkan sebagai landasan pendidikan di Indonesia. Di mana penekanan daripada konsep Demokrasi-Deliberatif bagi pendidikan di Indonesia ini bisa diwujudnyatakan melalui sudut pandang teori Tindakan Komunikatif. Lantas, tindakan komunikatif yang seperti apa yang dimaksud? 

Jadi, tindakan komunikatif ini berupa :

1. Adanya ruang publik pendidikan. Ruang publik ini wujud nyatanya adalah menjadikan sebuah kelas, di mana pengajar bisa menjadikan kelas sebagai wadah penyalur ideologi yang positif sesuai dengan karakter bangsa. Namun, di sini peserta didik juga diberi kesempatan untuk berpartisipasi, menyalurkan pendapatnya, atau diberi kesempatan untuk mengkritisi yang disampaikan dengan kondusif. Sehingga, akan tercipta suatu relasi yang komunikatif dan tidak monoton atau terkekang rasionalitasnya.

2. Adanya pendidikan yang emansipatoris, di mana semua orang bisa mengenyam pendidikan. Menghapuskan segala sistem pendidikan yang kapitalis, di mana tidak hanya kaum elit dan kaum yang mampu saja yang bisa merasakan pendidikan, namun semua orang sudah seharusnya mendapatkan pendidikan yang layak. Ditetapkannya kebijakan pemerintah yang berfokus pada “manusia”. Pendidikan karakter, mental, fokus terhadap minat dan bakat bukan hanya unsur akademis saja yang patut untuk diperhitungkan. Namun segala aspek yang ada harus dihargai dan dikembangkan untuk membangun wajah dan manfaat yang baik bagi pendidikan dan setiap aspek pendidikan.

3. Menciptakan iklim pedagogis pendidikan yang baik. Yakni diwujudnyatakan dalam bagaimana seorang pengajar itu bisa menguasai teknik dalam mengajar, yang mana fokus nya adalah bukan hanya menggiring peserta didik untuk dapat berprestasi dalam hal akademik. Namun peran pengajar harus bisa menggiring peserta didik untuk dapat memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Di samping itu, aspek religiusitas dan mental karakter juga harus diasah agar tidak terjadi penyimpangan moral. 

Itulah peran teori kritis yang bisa digunakan untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Bagaimana? Keren bukan? Sebagai kaum terpelajar yang bisa menikmati pendidikan, tentunya harus bersyukur nih kita. Tapi tetap ingat satu hal yang bisa dipelajari dari materi yang diulas hari ini, di mana kita sudah seharusnya bisa memaksimalkan apa yang menjadi potensi diri kita. Karena, pendidikan itu tidak hanya berbicara mengenai akademis saja, tapi juga menyangkut mengenai banyak hal. Semoga kita semua bisa melatih potensi diri kita dengan maksimal dan mengasah mental dan karakter kita untuk menjadi lebih baik lagi melalui wadah pendidikan yang kita lalui. Thank u readers, karena sudah mau membaca postingan ini, semoga bisa bermanfaat bagi readers semua! God bless u!


Salam hangat,

Penulis 


Kamis, 24 Desember 2020

Teori Kritis Generasi Kedua : Jurgen Habermas

 


Halo readers! Apa kabarnya? Di blog kali ini, aku mau mengulas mengenai Teori Kritis Generasi Kedua. Teori Kritis Generasi Kedua ini dipelopori oleh pemikiran seorang tokoh bernama Jurgen Habermas. Siapa itu Jurgen Habermas? Dan apa saja sumbangan pemikirannya terhadap teori kritis generasi Kedua? Untuk lebih jelasnya, yuk mari simak penjelasan berikut ini!

Jurgen Habermas merupakan seorang tokoh filsafat aliran Kontinental abad ke-20. Ia lahir di Dusseldorf, Jerman pada 18 Juni 1929. Ia memiliki minat di bidang Teori Sosial, epistemologis, Teori Politik, dan pragmatis. Melalui minatnya ini, ia melahirkan beberapa gagasan penting, yakni mengenai rasionalitas, komunikatif, wacana etika, Demokrasi Deliberatif, Pragmatis Universal, Tindakan komunikatif dan Ruang Publik. Pemikiran Habermas dipengaruhi oleh pemikiran penghegemoni teori Kritis dan Teori Kritis Generasi pertama. Melalui pemikirannya pula ia mempengaruhi Fraser, Forst, Benhabib, Mockus, dan lainnya. 

1. Lahirnya Paradigma Baru : rasionalitas, strategi komunikatif.

Peran Jurgen Habermas membawa sebuah kebangkitan paradigma baru mengenai Teori Kritis. Di mana, pada generasi pertama Teori Kritis di bawah naungan Mazhab Frankfurt mengalami kemacetan berakhir dengan kepesimisan. Pada dasarnya, fokus utama dari Teori Kritis menurut Habermas adalah sama dengan Teori Kritis Generasi pertama. Di mana di dalamnya mencakup kritik atas keterkungkungan ideologis dan irasional yang menghambat cara berpikir manusia modern. Namun, pada pemikiran Habermas. Ia menambahkan sebuah fokus penting yakni menyangkut mengenai Konsep Komunikasi. Karena menurutnya, komunikasi adalah suatu cara demi mengatasi kemacetan pada teori Kritis Generasi pertama. Tujuan daripada teori ini adalah menciptakan suatu iklim masyarakat yang komunikatif, yakni masyarakat yang melakukan kritik bukan dengan cara kekerasan maupun revolusi, tapi kritik dengan menggunakan argumentasi. 

2. Demokrasi Deliberatif : demokrasi dan kekuasaan

Pengertian Teori demokrasi Deliberatif menurut Habermas, mengandung arti bahwa terdapat sebuah makna mengenai dikursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai sebuah prosedur. Fokus dari teori ini bukanlah pada aturan yang mengikat warga, melainkan sebuah prosedur demi terciptanya aturan tersebut. Dalam pengambilan sebuah keputusan, jikalau ditinjau melalui teori demokrasi Deliberatif, kedaulatan rakyat lah yang memegang kontrol kekuasaan. Implementasi dari teori ini adalah adanya opini publik, dan aspirasi yang berperan penting mengendalikan kebijakan.

3. Ruang Publik

Ruang Publik menurut Habermas merupakan sebuah  tempat di mana masyarakat memiliki kebebasan dalam menyuarakan aspirasi mereka dan terlepas dari otonomi pemerintah. Adanya ruang publik juga turut menjiwai sebuah demokrasi. Habermas membagi ruang publik menjadi beberapa elemen mencakup :

a. Pluralitas (kelompok informal, keluarga, dan komunitas/organisasi sukarela)

b. Publisitas (media massa dan institusi)

c. Keprivatan (moral dan individu)

d. Legalitas (struktur hukum dan hak mendasar)

Ruang publik bersifat bebas dan tidak terbatas. Karena, ruang publik tidak terikat kepentingan politik dan juga pasar.

4. Etika Diskursus

Etika Diskursus menurut Habermas merupakan sebuah etika normatif yang menjelaskan mengenai adanya universalitas kepentingan dalam kehidupan Pluralitas masyarakat. Syarat dari etika ini adalah kebebasan semua anggotanya dalam mengemukakan pendapatnya, dan adanya kesetaraan partisipan dalam sebuah forum. Implementasi dari etika Diskursus ini adalah menciptakan iklim berkeadilan bagi semua aspek kehidupan. Mencakup suku, agama, ras, negara, dan lain sebagainya.  

Itu tadi merupakan paparan mengenai Teori Kritis generasi kedua. Gimana? Sudah makin paham bukan mengenai konsep Teori Kritis Generasi kedua? Syukurlah kalau sudah paham. Next. Aku bakal bahas mengenai Penerapan dan Implikasi Teori Kritis dalam Bidang Pendidikan. Penasaran bukan? So, stay tune yak! And, thank u for reading.


Salam hangat, 

Penulis


Kamis, 17 Desember 2020

Teori Kritis Generasi Pertama : Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse

 


Halo readers! Nah setelah di postingan sebelumnya aku membahas mengenai Penghegemoni Teori Kritis, di postingan kali ini, aku mau bahas mengenai teori kritis generasi pertama. Siapa saja tokoh-tokohnya? Dan bagaimana sumbangsih mereka terhadap teori kritis? Apa tujuannya? Untuk lebih jelasnya, yuk mari simak penjelasan berikut ini!

Penganut Teori Kritis generasi pertama terdiri dari tokoh-tokoh yang bernama Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse. Di sini aku bakal menjelaskan satu persatu sudut pandang mereka mengenai teori kritis. Jadi, untuk menjawab rasa ingin tahu readers semua simaklah ulasan berikut ini ya! Happy reading!

1. Max Horkheimer

Horkheimer merupakan seorang filsuf Jerman keturunan Yahudi. Ia merupakan salah satu tokoh generasi pertama dari Mazhab Frankfurt. Di tahun 1930-1958 ia memimpin Institute Fur Sozialforchung di Jerman. Pemikirannya dalam teori kritis dipengaruhi oleh Kant, Hegel, Marx, Nietzsche, Adorno, dan Cornelius. Pemikirannya dalam teori kritis ini juga turut mempengaruhi Adorno, Marcuse, Jurgen Habermas, Walter Benjamin, dan Fromn. Bagi Horkheimer, yang menjadi dasar dari teori kritis adalah mengulik mengenai kritik terhadap positivisme atau saintisme dalam ilmu sosial. Adapun objek nya adalah pengetahuan tradisional yang mereduksi manusia dalam dimensi instrumentalis. Bersama dengan Adorno, Horkheimer menerbitkan sebuah buku berjudul “Dialektik der Aufklarung” sebagai kritik atas ilmu pengetahuan warisan modernisme yang dipandang sebagai sebuah bentuk dominasi atau penguasaan rasionalitas subyek. Baginya, teori kritis haruslah tajam dalam menganalisis permasalahan sosial, bukan dominasi kesadaran dengan rasio. Horkheimer memberi perhatian yang mendalam mengenai kemanusiaan yang konkret, suatu bentuk teoritis yang reflektif dan humanis. Artinya apa? Artinya bahwasanya tujuan dari teori kritis menurutnya adalah untuk mengubah orientasi masyarakat di dalam kemajuan zaman dengan segala keuntungan praktis nya yang tidak semua orang bisa menikmatinya. Justru dampak dari adanya kemajuan zaman ini lah yang menyebabkan manusia kehilangan esensi nya sebagai makhluk yang mulia. Kritik Horkheimer menganggap bahwa rasionalitas modern ini telah gagal membawa manusia ke arah rasionalitas yang sejati. Di sinilah peran utama daripada teori kritis yakni mendorong adanya emansipasi berupa kesadaran atas diri manusia itu sendiri maupun bagi masyarakat di sekelilingnya. 

Sebuah teori psikoanalisis milik Kant, Hegel, Marx, dan Freud juga turut bersumbangsih terhadap pemikiran kritik nya. Baginya modal merupakan suatu hal yang bisa mempengaruhi rasionalitas manusia. Adapun peran psikoanalisis tersebut adalah sebagai berikut :

a. Dengan psikoanalisis, teori kritis dapat berperan mengkaji ekonomi bagi pembentukan rasionalitas manusia yang kemudian diubah menjadi suatu bentuk kesadaran semu akan realitas objektif di kehidupan modern.

b. Psikoanalisis berperan penting sebagai energi terhadap proses sosial manusia modern.

c. Peran psikoanalisis dalam metodologis teori kritis dapat menyatukan atau mengintegrasikan pemikiran Freud dan Marx.

2. Theodor Adorno

Adorno merupakan seorang sosiolog dan filsuf asal Jerman yang meminati musik sebagai metode untuk menganalisis sosial-kritis. Pada tahun 1958, Adorno memimpin Frankfurt School menggantikan Horkheimer. Dalam karyanya bersama Horkheimer yang berjudul Dialektik der Aufklarung (1944), menyatakan bahwa kehidupan modern berperan dalam self-destruction (penghancuran diri). Karena, rasional bertransformasi menjadi irasional. Sebuah modal mendominasi alam, dan juga manusia sebagai pelaku atas modal tersebut. Hal ini bisa menimbulkan suatu bentuk fasisme dan rezim lainnya. Untuk itu diperlukan pembebasan manusia bukan dari segi rasionalitas, namun dari segi voluntarisme untuk mendorong emansipasi manusia. 

Terdapat tiga pokok penting teori kritik menurut Adorno, tiga pokok tersebut meliputi :

a. Kritik Saintisme, yakni kritik Adorno terhadap positivisme logis dalam sosiologi Jerman.

b. Kritik reifikasi, yakni kritik Adorno terhadap homogenisasi nilai komersial sebuah “seni”. Kritik ini bersumber pada teori Fetisisme Komoditas Marx dan Teori Nilai , yang menyangkut mengenai nilai guna dan nilai tukar. Kebudayaan modern dan budaya populer membuat masyarakat seakan pasif. Menempatkan dan menilai kebudayaan dengan sisi objektif bukan lagi subjektif. Sedangkan objektivitas ini yang menimbulkan keseragaman pandangan. Hal inilah yang dikritik Adorno. Seperti halnya karya seni, kebudayaan sudah selayaknya dinilai dengan subyektif, dengan demikian kemurnian dan subyektivitas daripada nilai budaya bisa terjaga.

c. Teori Fetisisme Komoditas, yakni menyangkut mengenai keberhasilan kapitalisme dalam kepiawaian sistem ekonomi dalam mengatasi krisis dan menciptakan stabilitas pendorong kapitalisme. Melalui teori ini pula, Mazhab Frankfurt memandang industri kebudayaan menciptakan pemenuhan kebutuhan palsu dan menindas kebutuhan sejati.

3. Herbert Marcuse

Marcuse mengemukakan teori kritik manusia satu dimensi. Dalam teori ini, dibahas mengenai masyarakat teknologi. Realitas masyarakat teknologi merupakan masyarakat yang peran manusianya tidak menonjol, sisi manusianya teralienasi, tujuan dari masyarakat tersebut ditentukan oleh teknologi, dan dampak dari teknologi ini bukanlah sarana pembebas bagi manusia, namun sarana penindasan. Adapun ciri utama daripada masyarakat teknologi adalah masyarakat berada di bawah kekuasaan prinsip teknologi, masyarakat menjadi irasional, dan berdimensi satu. Masyarakat berdimensi satu ini maksudnya adalah masyarakat yang di dalamnya identik dengan adanya pengabaian sejarah, adanya kebutuhan palsu, melekatnya imperium citra, dan administrasi total, serta bahasanya yang fungsional. Masyarakat satu dimensi ini bisa ditelaah melalui beberapa segi yang meliputi :

a. Satu Dimensi dilihat dari Segi Sosial Ekonomi

b. Satu Dimensi dilihat dari Segi Sosial Politik

c. Satu Dimensi dilihat dari Segi Sosial Budaya

Dalam menghadapi keadaan seperti ini, Herbert Marcuse menemukan sebuah upaya yang disebutnya sebagai “The Great Refusal” di mana peran penting kaum muda , mahasiswa, dan cendekiawan yang kritis sangat diperlukan dalam menentang segala bentuk establistment, menolak terlibat dalam sistem totaliter yang bisa berdampak merugikan bagi banyak sisi. 

Halo readers! Jadi di atas merupakan ulasan mengenai tokoh-tokoh teori kritis generasi pertama. So, sudah pada tau dong apa saja pemikiran hebat mereka dan sumbangsihnya dalam teori kritis.  Syukurlah kalau makin paham. Next, aku bakal bahas mengenai Teori Kritis generasi kedua. So, stay tune! Thank u for reading!


Salam hangat,

Penulis


Rabu, 16 Desember 2020

Para Penghegemoni Teori Kritis : Immanuel Kant, Friedrich Hegel, Karl Marx, dan Sigmund Freud



Halo readers! Apa kabarnya? Kabar baik dong pastinya. Nah, kali ini aku mau mengulas mengenai para penghegemoni teori kritis. Siapa saja tokoh yang terlibat? Bagaimana sejarahnya? Pemikiran apa yang mereka sumbangkan terhadap teori kritis? Dan apakah tujuannya? Oke. Untuk lebih jelasnya mari simak ulasan berikut ini! 

Pada dasarnya, terdapat empat tokoh penghegemoni teori kritis, tokoh tersebut meliputi Immanuel Kant, Friedrich Hegel, Karl Marx, dan Sigmund Freud. Mereka memiliki pandangan masing-masing terhadap esensi teori kritis. Untuk itu dalam ulasan kali ini, aku mau mengulas satu persatu pandangan mereka terhadap teori kritis.

1. Immanuel Kant


Dalam menelaah sebuah pengetahuan, Kant menekankan pada “condition of possibility” dari pengetahuan itu sendiri. Yakni segala sesuatu yang menyangkut makna, isi, dasar, dan kebenaran dari sebuah pengetahuan haruslah tidak bersifat dogmatis. Baginya, kebenaran dalam pengetahuan haruslah dikritisi secara mendalam. Bagi Kant, hal terpenting adalah adanya pengujian terhadap kebenaran yang mana pengujian tersebut dilakukan dengan mengambil jalan tengah antara empirisme (fakta dan data berdasarkan pengalaman) dan rasionalisme (fakta dan data berdasarkan pemikiran) hingga pada akhirnya akan diperoleh sebuah kebenaran yang shahih. Maksud daripada proses pengujian ini adalah di mana pikiran manusia mengatur fakta empiris dan pengalaman indrawi yang diproyeksikan dalam bentuk kategori ruang, waktu, hubungan sebab-akibat yang nantinya pikiran manusia tersebut akan melakukan sistemasi dan ditemukan sebuah kesimpulan. Hal ini membuktikan bahwasanya realitas pengalaman lah yang bisa diolah oleh pikiran manusia ke dalam bentuk-bentuk kategori tadi.

Terdapat tiga proses pengenalan bagi Kant dalam memperoleh sebuah kebenaran yakni : 
a.Pengenalan taraf indra yang menangkap objek yang tampak, 
b.Pengenalan taraf akal yang mengubungkan ke dalam kategori-kategori, dan 
c.Pengenalan taraf rasio yang menarik simpulan daripada kategori-kategori yang dibuat oleh akal. 
Misalnya adalah : pengetahuan tentang hewan bernama sapi. Sapi adalah hewan mamalia berkaki empat, memiliki ekor. Apakah jika readers melihat hewan mamalia berkaki empat, memiliki ekor disebut sebagai sapi? Apakah semua yang memiliki ciri fisik demikian lantas disebut sapi? Lagi-lagi semuanya bergantung pada bagaimana rasio dan akal bisa berpikir.

Tujuan dari filsafat Kant adalah filsafat Transenden yakni suatu prinsip dasar pengetahuan yang umum dan mutlak. Prinsip dasar tersebut bukan berdasar pada pengalaman, namun pada akal budi atau rasio. Yang ingin ia lihat adalah sejauh mana akal pikiran dalam mengenal kenyataan. Harapan dari kritis Kant ini adalah manusia tidak lagi menganggap bahwa realitas merupakan “ Hasil dari Pemberian Tuhan “ belaka, namun suatu bentuk konstruksi sosial. Yang mana, tujuan daripada hal itu adalah masyarakat bisa terlepas dari kungkungan dan mewujudkan masyarakat yang rasional dan egaliter.

2. Friedrich Hegel


Hegel mengkritik pandangan Kant, bahwasanya tidak ada pertentangan yang mutlak antara ide teoritis dengan praktis alam atau materi. Baginya semuanya bersumber pada subjektifitas manusia.  Keduanya saling melengkapi dan bersifat dialektika, yakni sebuah bentuk penalaran di mana segala sesuatu itu memiliki faktor penentang yang bersifat esensial.

Terdapat tiga fase dialektika menurut Hegel, meliputi :

a. Fase Tesis, suatu keadaan awal.
b. Fase Antitesis, suatu yang bertentangan dengan keadaan awal.
c. Fase Sintesis, fase ini bisa memiliki dua arti. Yang pertama, dicabut dan ditiadakan. Kedua, diulas dan diulik lebih mendalam. Suatu kebenaran dalam tesis dan antitesis disimpan di sintesis.

Adapun sifat dari dialektika adalah prosesnya berlangsung secara terus-menerus, tidak pernah terselesaikan menjadi proses yang berbentuk spiral. Seiring berjalannya waktu, realitas senantiasa berubah, tidak ada yang tetap. Salah satu bentuk implementasi dari hal ini adalah : terbentuknya sebuah negara demokrasi konstitusional (sintesis) yang mana negara tersebut merupakan hasil perpaduan dari negara diktator (tesis) dan Anarkis (antitesis). 

Seperti itulah Hegel memandang rasio manusia. Ia memandang bahwa rasio manusia terus berkembang seperti halnya proses sejarah. Baginya, kritik merupakan sebuah bentuk refleksi proses menuju kesadaran. Kesadaran-kesadaran tersebut bisa muncul akibat adanya rintangan-rintangan yang terus diingkari. 

3. Karl Marx 


Pandangan Marx mengenai Kritik merupakan sebuah penerus dari dialektika Hegel. Bagi Marx, dialektika Hegel masih cenderung menerawang karena masih kabur dan mengurai sejarah dengan abstrak, yakni masih terkungkung dalam sebatas ide atau pemikiran yang seringkali tidak sesuai dengan realitas di masyarakat. Baginya, kehidupan ekonomi ditempatkan sebagai cikal bakal yang mendasari kesadaran manusia. Marx mematerialkan dialektika sejarah menjadi sebuah materialisme historis. Konsep kritik menurut Marx diterapkan ke dalam sejarah yang konkret dalam kehidupan masyarakat yang nyata adanya. Yang menjadi dasar daripada kehidupan masyarakat tersebut adalah “ kerja-kinerja-etos kerja “. Di mana hal tersebut sangat bergantung pada alat-alat produksi, sehingga alat produksi bisa dikatakan sebagai alat penggerak masyarakat. Hal ini kemudian memicu kontradiksi pertentangan kepentingan antar kelas kapitalis dengan kelas buruh. Menimbulkan sebuah proses kekuatan produksi yang terus-menerus diperbaiki, dirasionalisasikan, dan ditingkatkan efektif dan efisiensinya. 

Seperti analogi tersebut, Marx memandang bahwasanya pengetahuan dan rasio manusia bergantung pada faktor ekonomis masyarakat. Hal inilah yang membuat kesadaran timbul akibat dari sebuah proses produksi sosial. Kehidupan sosial yang dialami masyarakatlah yang memunculkan kesadaran. Kritik menurut Marx merupakan sebuah praxis revolusioner yang melibatkan perjuangan kelas kaum proletar. Berupa usaha-usaha emansipasi terhadap segala bentuk penindasan kekuasaan di masyarakat. Teori Kritik Marx melibatkan sebuah tujuan emansipatoris, yakni kesadaran mekanisme obyektif mengenai penindasan dan bagaimana cara pemecahannya. 

Namun di lain pihak, Kritik atas Marx ini ditentang oleh kaum Neo Marxist. Di mana, cakupan dunia bukan hanya yang berhubungan dengan alat produksi (infrastruktur) saja, namun juga mencakup mengenai ide, politik, dan agama (suprastruktur) yang saling melengkapi dan berkaitan dengan realitas di masyarakat.

4. Sigmund Freud


Freud mengemukakan teori Psikoanalisis. Teori ini dibawa oleh Erich Fromn setelah 9ntahun Frankfurt School berdiri, dengan menulis buku berjudul “The Dogma of Christ (1931)”.  Subyek dari psikoanalisis Freud adalah manusia yang memiliki ketidakbebasan psikis. Teori psikoanalisis dapat digunakan untuk memahami bagaimana kaum proletar sudah tidak memiliki jiwa revolusioner lagi. 

Terdapat tiga gejala manusia mengalami ketidakbebasan :

a. Manusia pasrah atau terhegemoni oleh adanya kekuasaan orang lain, di lain sisi akibat daripada kepasrahan yang kontinu suatu ketika manusia bisa memaksakan kehendak yang diinginkannya.
b. Perusakan diri sendiri. Sebagai bentuk dari frustasi yang tak kunjung mendapatkan obatnya. Sehingga pelarian pun sering terjadi, contoh yang sering dijumpai adalah dengan jalan menjadi pecandu narkoba bahkan parahnya bisa terjadi suicide atau bunuh diri.
c. Pelarian dengan jalan imitasi. Imitasi dilakukan meniru siapa apa pun entah itu individu, maupun kelompok komunitas yang dianggapnya sebagai panutan yang sesuai dengan kondisi dirinya atau suasana hatinya.

Di sinilah peran daripada psikoanalisis Freud dalam model kritis yakni dipakai untuk melihat kondisi psikis manusia yang terhegemoni atau tidak bebasnya rasionalitas manusia dalam berpikir. Yang mana, dalam kehidupan modern manusia sering mengalami ketidakbebasan yang tanpa disadari bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental apabila tidak ditangani secara serius. Melalui psikoanalisis Freud ini lah kita diajarkan untuk tidak hanya memperjuangkan dan mempertahankan hidup saja, namun juga pentingnya mempertahankan akal pikiran dan jiwa kita agar tetap sehat agar tidak menimbulkan permasalahan fatal akibat dari ketidakbebasan akal pikiran yang terkekang.

Oke, di atas merupakan pandangan beberapa tokoh penghegemoni teori kritis. Jadi, pada intinya dapat disimpulkan bahwasanya ciri utama dari pada teori kritis merupakan adanya sebuah kebebasan akan segala bentuk penindasan. Pentingnya rasio atau akal pikiran manusia dalam menumbuhkan berbagai macam kesadaran menjadi hal yang penting dalam sudut pandang teori kritis. Sebuah upaya emansipatoris merupakan tujuan dari teori kritis. Teori kritis mengkaji kehidupan dalam masyarakat berdasarkan realitas atau kenyataan yang dituangkan tidak hanya dalam paparan deskriptif, namun juga fokus terhadap aksi yakni kritis transformatif.

Gimana readers? Sudah makin tau kan mengenai para penghegemoni teori kritis? Next, aku bakal bahas mengenai topik yang lain yakni Teori Kritis Generasi pertama. So, Stay tune! Thanks for reading!

Salam hangat,
Penulis




Penerapan dan Implikasi Teori Kritis dalam Bidang Pendidikan

Halo readers! Apa kabar? Kabar baik dong pastinya. Nah, kali ini, aku mau mengulas  mengenai penerapan dan implikasi Teori Kritis dalam bida...